Modernis.co, Malang — Dewasa ini pemberitaan dan perbincaangan terkait isu poligami ramai di bicarakan baik di media sosial maupun dunia nyata. Lebih-lebih setelah viralnya pernyataan salah satu politisi partai politik yang menyatakan dengan terang-terangan bahwa dirinya menentang poligami.
Pernyataan kontroversi ini tidak hanya mendapat dukungan dari sebagian kalangan, tetapi juga mendapat tentangan di pihak lain. Tidak main-main, isu yang digulirkan bukan soal politik pilpres, melainkan isu agama yang justru akhir-akhir ini sangat hangat bahkan panas bagi masyarakat Indonesia.
Terlepas daripada permainan politik untuk melejitkan nama partai yang notabenenya sebagai partai baru dalam percaturan politik lima tahunan, isu yang telah beredar ini mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Kritik tajam mengalir dari berbagai pihak yang menentang pernyataan kontroversi tersebut, bahkan lebih ekstrim lagi mengatakan dengan menentang poligami berarti telah menentang terhadap syariat agama.
Apakah poligami merupakan anjuran Sunnah Nabi ataukah justru bentuk penganiayaan terhadap perempuan secara samar yang terbalut rapi dalam hukum syariat? Benarkah Islam yang merupakan agama kasih sayang justru menciptakan sistem yang menyakiti perempuan? Mengapa hanya seorang suami yang boleh berpoligami sedangkan istri dilarang poliandri?
Pertanyaan pertanyaan seperti itu muncul dari kalangan masyarakat khususnya perempuan, mereka yang menolak poligami mempertanyakan bentuk keadilan dari sebuah sistem yang menurut mereka sangat tidak adil bagi perempuan. Bagaimana mungkin agama yang suci mengajarkan ketidakadilan?
Orang-orang yang pro terhadap poligami berdalih bahwa hal tersebut justru membantu menyelamatkan ketimpangan populasi perempuan yang lebih banyak daripada laki-laki. Bahkan tak jarang para suami mengiming-imingi pahala syurga bagi mereka yang merelakan suaminya berpoligami.
Dari kacamata perempuan, hal ini justru sangat menyakitkan ketika harus berbagi perasaan terhadap perempuan lain atas apa yang telah menjadi belahan jiwanya. Seakan-akan seperti tidak ada cara lain untuk memuliakan perempuan selain dengan poligami. Dogma menjadi sangat murah untuk dipolitisasi demi kepentingan hasrat laki-laki. Perempuan tak ubahnya seperti barang yang bisa dipakai semaunya oleh laki-laki ketika ia membutuhkan.
Di sisi lain, islam memandang poligami adalah bentuk solusi alternatif atas fenomena yang terjadi di masyarakat akibat tidak adanya wadah untuk memfilter tindak asusila. Untuk menghindari perbuatan zina antara lali-laki yang “jajan” demi memuaskan hasratnya yang tidak terpenuhi dengan perempuan yang “mangkal” menjajakan dirinya, maka harga diri seorang perempuan diangkat melalui akad pernikahan. Selain itu, pada dasarnya islam sangat memuliakan perempuan. Hal tersebut terlihat jelas bagaimana islam lebih menganjurkan bermonogami daripada berpoligami, sebagaimana dikutip dalam lanjutan alqur’an ayat ke-3 Surat An-Nisa.
Poligami dalam Islam diatur secara ketat dalam syariat mengenai syarat-syaratnya,tidak sembarang orang dapat melakukan poligami. Hal ini hanya berlaku bagi laki-laki yang telah tercukupi syarat-syarat untuk berpoligami seperti adil, cukup harta untuk menafkahi keluarga, sehat jasmani dan rohani, dan tentu ada kebutuhan mendesak yang mengharuskannya melakukan poligami setelah tidak ada cara lain.
Semisal dengan tujuan dakwah kepada suatu kaum yang sulit didakwahi sehingga mengharuskannya menikahi salah satu anggota keluarga dari orang yang ditokohkan di daerah tersebut demi tercapainya dakwah. Sebab apabila ia tidak menikah, maka ajaran agama tidak menyentuh kaum tersebut.
Jika melihat sejarah, sebetulnya Rasulullah tidak menikah setelah meninggalnya Khadijah melainkan ditentukan oleh Allah. Artinya beliau menikah bukan atas dasar nafsu, melainkan perintah dari Allah, sehingga ia tidak bisa memilih siapa saja yang cantik atau muda menurut kehendak nafsunya.
Jadi kurang tepat kiranya jika demi memenuhi hasrat seksual lantas setiap laki-laki dapat mempolitisasi ayat alqur’an dengan dalih Sunnah Nabi. Hal itu justru sama saja melecehkan agama sebab menodai kesucian Sunnah dengan mengatasnamakan Sunnah Nabi demi kepentingan seksual. Jika monogami dalam Islam saja diatur ketentuannya, sampai-sampai ada hukum sunnah, wajib, makruh bahkan haram, tentu poligami pun lebih daripada itu.
Jadi sebetulnya tidak ada istilah melecehkan perempuan, justru Islam hadir membawa solusi untuk memuliakan perempuan. Bagi siapa saja yang tidak suka poligami adalah hak setiap individu, pun demikian dengan yang tidak melakukannya, adalah kebebasan dalam setiap pilihan individu. Tetapi menentang poligami adalah sikap ketidak mampuan seseorang dalam bernalar secara sehat.
Oleh : Rohaiman Hidayat (Ketua PC IMM Malang Raya Bidang Seni, Budaya dan Olahraga)